13 Okt
EKSEKUSI
Eksekusi dalam perkara perdata merupakan proses yang melelahkan, menyita energy, biaya dan pikiran. Putusan perdata belum memiliki makna apapun ketika pihak yang dikalahkan tidak bersedia menjalankan putusan secara sukarela. Kemenangan yang sesungguhnya baru dapat diraih setelah melalui proses yang panjang dengan eksekusi untuk mewujudkan kemenangan tersebut. Proses eksekusi menjadi lama dan rumit karena pihak yang dikalahkan sulit untuk menerima putusan dan tidak mau menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Puncak dari suatu perkara perdata adalah ketika putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan eksekusi, terdapat asas-asas yang digunakan dalam pelaksanaan eksekusi. Asas-asas tersebut antara lain:
Adapun keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dapat berupa:
Putusan yang dapat dilakukan eksekusi pada dasarnya hanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap karena dalam putusan tersebut telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (res judicata) dan pasti antara pihak yang berperkara. Akibat wujud hubungan hukum tersebut sudah tetap dan pasti sehingga hubungan hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh pihak yang kalah. Terhadap asas ini terdapat beberapa pengecualian yaitu:
Bentuk pelaksanaan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad) merupakan salah satu pengecualian terhadap asas menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 180 ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan, sekalipun putusan yang bersangkutan belum berkekuatan hukum tetap. Pasal tersebut memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok-pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan sekalipun perkara pokoknya belum diputus.
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR. Akta perdamaian yang dibuat di persidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sejak tanggal lahirnya akta perdamaian, telah melekat pula kekuatan eksekutorial pada dirinya meskipun ia bukan merupakan putusan yang memutus sengketa.
Grosse akta ini sesuai dengan Pasal 224 HIR. Eksekusi grosse akta merupakan eksekusi yang dijalankan untuk memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.
Dalam menjalankan isi putusan, terdapat 2 (dua) cara yaitu dengan jalan sukarela dan dengan jalan eksekusi. Pada dasarnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan menjadi pilihan untuk dilakukan apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Sedangkan menjalankan putusan secara sukarela, pihak yang kalah memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Pihak yang kalah, tanpa paksaan dari pihak lain, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Dengan sukarela pihak yang kalah memenuhi secara sempurna segala kewajiban dan beban hukum yang tercantum dalam amar putusan. Dengan dilaksanakannya ketentuan putusan oleh pihak yang kalah, maka tindakan paksa tidak dapat lagi diberlakukan kepada pihak yang kalah.
Putusan condemnatoir yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman” dan dengan sendirinya melekat kekuatan hukum eksekutorial sehingga putusan tersebut dapat dieksekusi apabila tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.
Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1), jika terdapat putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri dan telah berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dalam asas ini, yaitu:
Terhadap pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) dalam perkara perdata, terdapat 3 (tiga) jenis eksekusi, yaitu:
Dalam pelaksanaan eksekusi, terdapat tahap-tahap yang dilakukan sebagai berikut:
Setelah adanya putuan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka pada dasarnya pemenuhan amar putusan tersebut harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah secara sukarela. Eksekusi akan dapat dijalankan apabila pihak yang kalah tidak menjalankan putuan dengan sukarela, dengan mengajukan permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.
Permohonan eksekusi merupakan dasar bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan peringatan atau aanmaning. Aanmaning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara berupa “teguran” kepada Tergugat (yang kalah) agar ia menjalankan isi putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari Penggugat. Pihak yang kalah diberikan jangka waktu 8 (delapan) hari untuk melaksanakan isi putusan terhitung sejak debitur dipanggil untuk menghadap guna diberikan peringatan.
Setelah aanmaning dilakukan, ternyata pihak yang kalah tidak juga melakukan amar dari putusan maka pengadilan melakukan sita eksekusi terhadap harta pihak yang kalah berdasarkan permohonan dari pihak yang menang. Permohonan tersebut menjadi dasar bagi Pengadilan untuk mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 197 HIR. Penetapan sita eksekusi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam cara peletakan sita yaitu sita jaminan dan sita eksekusi. Sita jaminan mengandung arti bahwa, untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Sedangkan sita eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam sita eksekusi harus dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Sita eksekusi baru diperkenankan menjangkau barang tidak bergerak sepanjang harta bergerak tidak lagi mencukupi nilai jumlah yang harus dilunasi.
Sita eksekusi terhadap barang bergerak meliputi segala jenis barang berupa uang tunai, surat berharga dan barang yang berada di tangan pihak ketiga.
Yang dilarang adalah dua hewan dan perkakas yang dipergunakan oleh yang bersangkutan sebagai alat (sarana) menjalankan mata pencaharian.
Setelah adanya permohonan sita eksekusi maka tahap selanjutnya adalah dikeluarkannya Penetapan Eksekusi yang berisi perintah Ketua Pengadilan Negeri kepada Panitera dan juru sita untuk menjalankan eksekusi.
Setelah Pengadilan mengeluarkan Penetapan Eksekusi berikut Berita Acara Eksekusi maka tahap selanjutnya adalah lelang. Lelang merupakan penjualan di muka umum harta kekayaan termohon yang telah disita eksekusi atau menjual di muka umum barang sitaan milik termohon yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang dan cara penjualannnya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat atau semakin menurun melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran). Tujuan lelang ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si tergugat. Penggunaan kantor lelang dimaksudkan agar harga yang didapat tidak merugikan si tergugat dan sesuai dengan harga yang sewajarnya di pasaran. Hasil lelang digunakan untuk membayar kewajiban yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.